DRD Berikan Solusi Baru
Anies berharap para anggota DRD bisa memberikan inovasi dan terobosan bagi Pemprov DKI. Hal itu agar warga DKI bisa merasakan hasil tugas anggota DRD
Image is not available
previous arrow
next arrow
Slider

Menjadikan sampah Jakarta untuk Jakarta sendiri bukan sesuatu yang mustahil.

Volume sampah tahunan DKI Jakarta diperkirakan sekitar 2,7 juta ton. Sementara daya tampung tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) di Bantargebang, Bekasi, kemampuannya sudah semakin terbatas. Kondisi yang perlu membutuhkan penanganan cepat dan solusi yang lebih permanen.

Berbagai upaya seperti pembangunan fasilitas pengolahan sampah di tengah kota, intermediate treatment facility (ITF), dan lainnya telah dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta. Penulis menawarkan solusi yang lebih permanen serta memaksimalkan nilai tambah bagi DKI Jakarta.

Rasionalitasnya sederhana. Dari masalah keberadaan 2,7 juta ton per tahun sampah yang harus ditangani (hitungan pembulatan agar memudahkan pemahaman), rata-rata 55 persennya mengandung sampah organik, baik limbah rumah tangga, kawasan bisnis, hingga dedaunan. Itu berarti setara dengan 1,5 juta ton dalam setahun. 

Sebagaimana sifat sampah organik, jika diolah dengan fermentasi dan dikeringkan menjadi kompos, volume akan menyusut menjadi sekitar 30 persennya atau setara 500 ribu ton kompos. Dari pembuatan kompos tersebut akan digunakan untuk memupuk tanaman pada Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Pertanyaannya: apakah cukup RTH di DKI Jakarta menyerap kompos 500 ribu ton? Kompos sebanyak 500 ribu ton tersebut jika diangkut dengan mobil truk kapasitas 10 ton membutuhkan 50 ribu truk.

Pertanyaannya: apakah cukup RTH di DKI Jakarta menyerap kompos 500 ribu ton? 

Kalkulasinya kita awali dari keberadaan luas RTH. Saat ini, luas RTH mencapai sekitar 9,96 persen dari luas DKI Jakarta yang 66.150 hektare. Ke depan, luas RTH ditargetkan 30 persen dari luas DKI Jakarta.

Katakanlah, seluruh luas RTH digunakan untuk membenamkan kompos secara efesien. Anggaplah luas RTH yang dapat dimanfaatkan setelah dikurangi peranti keras bukan tanaman (hardscape), seperti jalan setapak, aspal, waduk, bangku taman, bangunan pengelola, hingga monumen artistika tinggal 8 persennya yang berarti seluas 5.292 hektare.

Menghitung lebih rinci, semua angka besar kita jadikan pecahan kecil dalam kilogram dan meter persegi, serta jadwal pemupukan pertamanan yang baik sebanyak dua atau tiga kali setahun. Itu berarti 500 juta kilogram kompos dibagi 52,920 juta meter persegi luasi RTH dan dibagi dua atau tiga kali pemupukan. Hasil akhirnya adalah setiap meter persegi dibebankan 4,7 kilogram (pemupukan dua kali) atau 3,13 kg (pemupukan tiga kali).

Hal ini juga didasarkan, taman kota atau RTH mendapatkan kondisi lingkungan yang lebih ekstrem dari asap kendaraan, vandalisme, dan lainnya, sehingga membutuhkan pemupukan rutin.

Kompos sebanyak 3,13 kilogram hingga 4,7 kilogram per meter yang disebarkankan di seluruh RTH DKI Jakarta sebenarnya masih kurang. Ini mengingat adanya penurun permukaan tanah (the land subsidence) yang terlihat dari akar tanaman yang muncul  di permukaan sehingga perlu jumlah kompos yang lebih banyak.

Sekilas terlihat begitu sederhana dalam menangani 55 persen sampah DKI Jakarta. Tetapi pelaksanaannya pasti akan menghadapi kerumitan, ditambah menghadapi zaman yang tidak normal (pandemi Covid-19). Namun, sebelum pembahasan kerumitan, kita bahas dulu manfaat kompos sampah Jakarta untuk Jakarta

Sebelum pembahasan kerumitan, kita bahas dulu manfaat kompos sampah Jakarta untuk Jakarta.

Pertama, tentunya tanaman akan subur, rimbun menghijau yang akan menciptakan keindahan kota, penyerapan polusi udara lebih maksimal, dan peningkatan kesejukan iklim mikro yang membuat kenyamanan sekitar.

Kedua, dengan tanah yang subur, keinginan menjadikan Jakarta sebagai “The Forest City” akan terjadi dengan sendirinya karena banyak pohon indukan, baik milik koleksi pribadi maupun di taman publik. Lewat bantuan manusia atau burung, biji-biji atau sporanya akan berkembang biak secara alami.

Akan tercipta keragaman hayati dari seluruh dunia, seperti pohon tanduk rusa lokal (Plathycerium wilingkyi) yang asli Jakarta, palm muleri (L. mullery) asal Papua, pohon purba kaki gajah (Adensonia digitata) asal Afrika, hingga pohon tabebuia (Tabebuia argenthhea) asal Amerika, dan lainnya.

Ketiga, dari peran mikroba pada kompos, maka tanah akan gembur (porous) memudahkan penyerapan air hujan akan mengurangi genangan lokal.

Keempat, dari tanah yang gembur bernutrisi, akar pohon menyelusup membesar dalam tanah, menjadi fondasi yang mencengkeram, menahan laju penurunan muka tanah, sebagaimana cara kerja fondasi beton cakar ayam. Sementara itu, masalah akar merusak struktur fondasi bangunan dapat disiasati dengan pembuatan pembendung akar (root barrier), berupa lebaran pastik tebal yang dipasang dengan pembenaman secara vertikal, sehingga memagari akar dengan struktur bangunan.

Akar mampu membobol beton, berawal rongga satu mikron meter, akar akan masuk dan berontak membesar. Akan tetapi, dengan lembaran plastik, jika tidak bocor, akar akan tertahan.

Kelima, dapat dikerjakan bertahap, dengan anggaran terbatas. Sebaiknya dikerjakan berbarengan, hanya pada tingkat kelurahan dan kecaman. Sesuai prinsip dasar penanganan bahwa sampah harus dikelola di lokasi sumber.

Keenam, bukan teknologi yang rumit sehingga dapat dipahami setingkat petugas lapangan, semuanya relatif cara lama yang sudah dikenal. Pembaruan hanya mengenai konsep dan sistem.

Ketujuh, dapat menjadi penghasilan tambahan bagi petugas sampah dan komunitas sampah. Selama nilai keekonomiannya menguntungkan sampah organik malah akan dicari.

Memang terdapat sejumlah tantangan dalam pengelolaan sampah ini. Pertama, adalah masalah lahan yang terbatas. Karena lahan kosong yang semakin sedikit, maka pengelolaannya harus dengan prosedur yang benar, bantuan mesin dan bioteknologi. Maka pengelolaan harus dengan prosedur yang benar, bantuan mesin dan bioteknologi.

Pengelolaan jangan menimbulkan masalah baru berupa tumpukan sampah, pemandangan kotor yang mengganggu, bau busuk, serta populasi lalat yang meledak jika tanpa bantuan mesin dan teknologi.

“Teror” yang menakutkan warga adalah aroma bau busuk dari pengelolaan sampah di lingkungannya. Namun demikian, menengok masa lalu, Pemda DKI Jakarta pernah punya prestasi yang diakui secara internasional, yaitu menghilangkan bau busuk di Kali Item dekat Wisma Atlet saat Asian Games 2018, di Kemayoran, Jakarta. Intinya kita punya teknologi dalam menghilangkan bau busuk limbah dan sampah.

Bahasa bijak dari aktivis limbah, “Sampah itu, walau segunung tidak menimbulkan masalah selama tidak muncul bau busuk. Contoh, sampah plastik atau besi rongsokan. Tapi walau satu gerobak, akan menimbulkan kehebohan masyarakat dari bau busuk yang menyengat."

Bau busuk terjadi karena dari tumpukan sampah organik datanglah bakteri dari udara bebas. Bakteri itu berfungsi sebagai pengurai sebagaimana “hukum rantai makanan”. Ketika proses penguraian, bakteri mengeluarkan gas berbau busuk yang disebut ammonia, seperti bakteri dalam perut kita, mengeluarkan gas yang bernama kentut.

Efek bau busuk ini menimbulkan datangnya lalat. Bisa kita bayangkan jumlah lalat, efek dari pengolahan 1,5 jufa ton sampah, tanpa bantuan teknologi penghilang bau.

Kedua, pengawasan yang ketat. Monitoring pengelolaan sampah sebaiknya dilakukan oleh perusahaan swasta yang memiliki kemampuan membuat aplikasi pengawasan secara digital dan real time. Pemprov DKI perlu membentuk Dewan Pengawas Pengelolaan Sampah beranggotakan komponen masyarakat, akademisi, dan aktivis persampahan yang diseleksi terbuka dan diumumkan ke publik.

Dewan Pengawas Sampah ini diangkat oleh Gubernur DKI Jakarta dengan tanggung jawab melaporkan kinerja pengelolaan sampah serta mengumumkan data pengawasan secara terbuka kepada publik. Tanpa pengawasan ketat, akan terjadi kerawanan korupsi anggaran dari kecurangan pelaporan dan sampah fiktif dari luar Jakarta.

Ketiga, anggaran yang akan sangat besar. Komponen anggaran meliputi biaya produksi, distribusi, dan pengaplikasian serta biaya pengawasan. Tapi dengan volume pembelian 500 ribu ton, maka jika kompos dibeli secara curah seharga Rp 1.500 per kilogram, nilainya menjadi sekitar Rp 750 miliar per tahun.

Jumlah yang relatif besar. Namun, cukup acceptable bila melihat APBD DKI Jakarta yang nilainya lebih dari Rp 80 triliun (2019, sebelum pandemi). Terlebih, uang pembelian kompos juga akan masuk ke BUMD yang mengelola sampah yang notabene nantinya dividennya akan masuk menjadi penerimaan daerah.

Berdasarkan analisis di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa menjadikan sampah Jakarta untuk Jakarta sendiri bukan sesuatu yang mustahil. Walau selama ini sampah organik dianggap kurang bernilai ekonomi, harus dibuang keluar dari Jakarta dan menjadi beban anggaran daerah.

Namun demikian, bila dikelola dengan benar, nantinya akan bermanfaat bagi masyarakat, lingkungan hidup serta dapat memperlambat turunnya permukaan tanah di DKI Jakarta. Kondisi darurat sampah, jika hanya dengan paradigma lama, mutlak akan terjadi, seiring peningkatan tahun demi tahun.

Semoga nanti sampah Jakarta dapat diserap untuk Jakarta sendiri, nilai tambah maksimal juga dinikmati Jakarta sendiri.

Oleh : SUWARDI HAGANI; Anggota Dewan Riset Daerah DKI Jakarta 2018-2022

Sumber Berita : Republika.id